JAKARTA, ||JejakBeritaNews.com|| — 17 Maret 2025 – Dalam peringatan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara 2025, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menandai usianya yang ke-15 dengan menyelenggarakan BRWA Exhibition 2025 bertema “Mengabadikan Jejak, Menggerakkan Aksi.” Acara ini bukan sekadar pameran, tetapi juga momentum refleksi atas perjalanan panjang perjuangan masyarakat adat dalam memperoleh pengakuan wilayahnya.
BRWA Exhibition 2025 menampilkan berbagai bentuk ekspresi perjuangan masyarakat adat, mulai dari dokumentasi foto hingga film dokumenter Harmoni di Lembah Grime, yang mengisahkan kehidupan masyarakat adat di Jayapura, Papua. Selain itu, sesi gelar wicara bertajuk “Strategi Penguatan Hak Masyarakat Adat Melalui Kebijakan Satu Peta” menghadirkan para pemangku kepentingan untuk merumuskan langkah-langkah percepatan pengakuan wilayah adat. Puncaknya, BRWA meluncurkan laporan BRWA Update Edisi Maret 2025: Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia.
Lambatnya Pengakuan Wilayah Adat, Tantangan Besar yang Belum Teratasi
Sejak berdiri, BRWA telah meregistrasi 1.583 wilayah adat dengan total luas mencapai 32,3 juta hektar. Namun, hingga kini, hanya 302 wilayah adat seluas 5,3 juta hektar yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Angka ini hanya 19,08% dari total wilayah adat yang telah terdaftar, menunjukkan lambatnya proses pengakuan resmi.
Ketua BRWA, Kasmita Widodo, menyoroti dampak dari lambannya pengakuan ini. “Minimnya pengakuan wilayah adat meningkatkan risiko konflik tenurial. Ditambah lagi, berbagai Proyek Strategis Nasional dan perizinan berbasis lahan sering kali mengancam keberlangsungan wilayah adat, keanekaragaman hayati, serta budaya masyarakat adat yang bergantung pada ruang hidupnya,” ujarnya.
Salah satu faktor utama di balik lambannya pengakuan wilayah adat adalah prosedur administratif yang rumit serta minimnya alokasi dana dari pemerintah daerah. Tanpa dukungan konkret, masyarakat adat terus menghadapi ketidakpastian hukum atas tanah yang telah mereka kelola selama berabad-abad.
Hutan Adat: Mandat MK-35 yang Belum Terlaksana
Selain pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah, penetapan hutan adat juga masih jauh dari harapan. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK-35) telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara, tetapi hak masyarakat adat. Namun, hingga kini, Kementerian Kehutanan baru menetapkan 156 wilayah adat sebagai hutan adat dengan luas 322.505 hektar.
Padahal, berdasarkan data BRWA, potensi hutan adat yang seharusnya ditetapkan mencapai 24,5 juta hektar. Kesenjangan ini menjadi bukti bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam memenuhi mandat MK-35 dan memberikan hak penuh kepada masyarakat adat atas hutan mereka.
RUU Masyarakat Adat: Harapan yang Masih Tertahan di Parlemen
Selain pengakuan wilayah dan hutan adat, payung hukum yang melindungi hak-hak masyarakat adat juga masih tertunda. Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang telah diperjuangkan lebih dari satu dekade, hingga kini masih terhambat di parlemen.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mendesak DPR RI dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU ini. Menurut Anggi Putra, Ketua Tim Kampanye Koalisi, pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan hanya soal keadilan, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan, energi, dan air, serta mendukung target pengurangan emisi Indonesia pada 2030.
“Masyarakat adat memiliki kearifan dalam mengelola kekayaan alam secara berkelanjutan. Wilayah adat menyimpan hutan, lautan, dan ekosistem yang kaya akan sumber pangan, keanekaragaman hayati, dan obat-obatan. Jika RUU ini disahkan, Indonesia bisa menunjukkan komitmennya dalam menjaga lingkungan sekaligus memberdayakan masyarakat adat,” tegas Anggi.
Saatnya Bergerak: Percepatan Pengakuan Wilayah Adat
BRWA Exhibition 2025 menjadi pengingat bahwa pengakuan wilayah adat bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan persoalan keadilan, perlindungan hak, dan kelestarian ekosistem. Pemerintah di semua tingkatan harus mengambil langkah lebih nyata untuk mempercepat pengakuan wilayah adat dan hutan adat, termasuk:
Menyusun kebijakan yang lebih progresif dan sistematis
Mengimplementasikan putusan MK-35 dengan lebih tegas
Mengalokasikan dana yang memadai untuk mendukung proses pengakuan wilayah adat
Mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai prioritas nasional
Bagi kepala daerah dan anggota parlemen yang baru terpilih, momentum ini adalah waktu yang tepat untuk memperkuat komitmen terhadap masyarakat adat. “Jangan tunggu sampai masa jabatan berakhir untuk bertindak. Jika terlambat, warisan kepemimpinan yang baik bagi masyarakat adat bisa hilang,” tutup Kasmita Widodo.
Dengan komitmen nyata dari berbagai pihak, pengakuan wilayah adat bukan hanya menjadi harapan, tetapi juga kenyataan yang membawa manfaat bagi masyarakat adat, lingkungan, dan masa depan bangsa.